Ekspor CPO Dilarang, Saham Emiten Sawit Diramal Terdampak dalam Jangka Pendek
25/04/2022

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis, 28 April 2022 sampai dengan batas waktu yang akan ditentukan. Kebijakan ini ditujukan agar kebutuhan minyak goreng dalam negeri dapat terpenuhi secara melimpah dan terjangkau bagi masyarakat.

Sebagai gambaran, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tahun 2021, produksi CPO sepanjang tahun lalu mencapai 46,88 juta ton. Sementara itu, konsumsi minyak sawit dalam negeri hanya sebesar 18,42 juta ton dengan jumlah ekspor minyak sawit Indonesia sebesar 34,2 juta ton.

Dengan kata lain, konsumsi minyak sawit dalam negeri hanya setara 35% dari gabungan konsumsi domestik dan ekspor, sedangkan jumlah minyak sawit Indonesia yang diekspor mencapai 65%. Oleh sebab itu, larangan ekspor ini memang berpotensi membuat pasokan dalam negeri jadi melimpah.

Di sisi lain, harga jual CPO terus berada di level tinggi sepanjang 2022. Berdasarkan data Bursa Derivatif Malaysia, harga CPO kontrak pengiriman Juli 2022 berada di RM 6.349 per ton pada penutupan perdagangan Jumat (22/4). Harga tersebut sudah naik 14,87% dibanding harga per akhir Maret 2022 yang sebesar RM 5.527 per ton dan meningkat 35,17% dibanding harga penutupan akhir tahun 2021 yang sebesar RM 4.697 per ton.

Kenaikan harga CPO terdorong sentimen konflik Rusia-Ukraina yang mengganggu pasokan minyak nabati sehingga membuat permintaan terhadap minyak sawit meningkat. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng akan mendorong harga CPO lebih tinggi.

"Saya kira pemerintah sudah sadar akan hal ini sehingga nanti akan ada acuan harga CPO untuk dalam negeri yang komponen penghitungannya akan disesuaikan," kata Yusuf saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (24/4).

Akan tetapi, menurutnya, penentuan harga acuan dalam negeri tersebut harus mengakomodir tujuan pemerintah dan juga pengusaha agar tercapai titik tengah. Pengawasan pintu perdagangan dan alur distribusi juga penting untuk dilakukan agar stok CPO di dalam negeri tidak "menghilang" lagi seperti sebelumnya.

Terkait dengan potensi melimpahnya pasokan CPO dalam negeri, Yusuf memperkirakan, pangsa pasar di dalam negeri masih sangat besar untuk bisa diisi oleh beragam produsen CPO beserta produknya. Terlebih lagi, sebelumnya para produsen juga sudah memasok produknya ke dalam negeri sehingga isunya tinggal memperbesar produksi ke pasar domestik.

Lebih lanjut, Yusuf melihat, kebijakan pelarangan ekspor CPO tidak akan diberlakukan dalam jangka panjang. "Kebijakan ini saya kira dilakukan sebagai langkah konsolidasi untuk melihat ulang berapa besar kebutuhan konsumen di dalam negeri dan apakah produksinya bisa menutupi, jika tidak bisa tentu dibutuhkan peningkatan produksi di sisi hulu dalam jangka menengah dan pendek," tutur Yusuf.

Yang tak kalah penting, pelarangan ekspor CPO ini juga berpotensi menimbulkan protes dari negara-negara tujuan ekspor utama, seperti India dan China. Namun, menurutnya, ada kebutuhan domestik yang memang harus dipenuhi terlebih dahulu. Alhasil, para importir CPO tersebut mau tidak mau akan mengalihkan permintaan ke Malaysia serta negara-negara produsen lain seperti Papua Nugini.

Menanggapi larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, GAPKI menyatakan akan mendukung setiap kebijakan pemerintah terkait sektor kelapa sawit. GAPKI juga menghormati keputusan tersebut dan akan melaksanakan kebijakan seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo.

Meskipun begitu, GAPKI akan memantau perkembangan di lapangan setelah berlakunya kebijakan tersebut. "Jika kebijakan ini membawa dampak negatif kepada keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit, kami akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut," ucap Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/4).

PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) sebagai salah satu perusahaan terbuka yang mempunyai pasar ekspor juga menyatakan komitmennya untuk mematuhi kebijakan tersebut. "Apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, kita harus patuh mengikuti aturan yang ada, tidak relevan lagi untuk dibicarakan karena bukan lagi wacana tapi sudah diputuskan," kata Direktur Utama AALI Santosa saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (22/4).

Namun, Santosa mengaku selama empat bulan terakhir ini, dinamika perubahan peraturan sangat cepat. Alhasil, pelaku pasar kewalahan melakukan adaptasi terhadap perubahan yang sangat cepat ini.

Selama ini, AALI menjalankan strategi penjualan oportunistik sehingga AALI tidak secara rigid menentukan porsi penjualan ekspor dan domestik, melainkan melihat mana yang memberikan hasil terbaik antara pasar ekspor dan domestik. Akan tetapi, biasanya penjualan ekspor AALI menyumbang 45%-50% terhadap total penjualannya.

Terkait dengan harga jualnya, Santosa menuturkan memang ada perbedaan antara harga jual ekspor dan domestik.  "Namun, secara efektif selama ini harga pasar domestik dan ekspor berjalan seiring, kecuali saat ada DPO dimana kami juga menjual sesuai kewajiban DMO dengan harga DPO," ucap Santoso.

Kemudian, dari segi sahamnya, Analis Panin Sekuritas William Hartanto memprediksi, kebijakan larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng hanya akan berpengaruh dalam jangka pendek. Pasalnya, sebagai saham komoditas, pergerakan harga CPO lebih memengaruhi harga sahamnya.

"Sebagian masih uptrend dengan AALI sebagai leader dari sektor perkebunan. Melihat trennya, arahnya masih menguat semua," ucap William.

Ia menetapkan target harga untuk AALI di Rp 13.800-Rp 14.000 per saham, sedangkan harga per Jumat (22/4) berada di Rp 13.150 per saham.

Reporter: Nur Qolbi | Editor: Tendi Mahadi

Kembali ke halaman artikel
Artikel Terbaru
Arsip