KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akan mulai mengurangi penambahan likuiditas (tapering) pada akhir kuartal I-2022, yaitu dengan meningkatkan giro wajib minimum (GWM) per 1 Maret 2022.
Gubernur BI Perry Warjiyo pun mengatakan, langkah yang diambil oleh bank sentral ini berpotensi menyedot likuiditas hingga Rp 200 triliun.
Namun, Perry yakin kebijakan tersebut tidak akan mengurangi likuiditas yang ada dan tidak akan memengaruhi kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit maupun membeli Surat Berharga Negara (SBN).
Pasalnya, hingga saat ini likuiditas pun masih sangat longgar. Sehingga implikasinya, ini tidak akan memengaruhi progres pemulihan ekonomi yang sedang diperjuangkan.
Senada, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memandang, rencana pengurangan likuiditas oleh BI tersebut belum akan berpengaruh besar pada kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dalam hal pembiayaan.
“Likuiditas domestik masih ample (cukup), sementara kebutuhan pembiayaan juga menurun karena terus menguatnya kinerja APBN,” ujar Plt. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM) BKF Abdurohman kepada Kontan.co.id, Selasa (25/1).
Dalam hal ini, Abdurohman menyiratkan pemerintah masih tetap akan menjaga defisit APBN menuju maksimal 3% PDB pada tahun 2023. Karena likuditas bagi perekonomian memang masih terjaga dan momentum pemulihan ekonomi tetap berjalan.
Kinerja APBN sudah semakin menguat dan sebenarnya sudah tercermin pada tahun lalu. Defisit APBN berhasil ditekan menjadi 4,65% Produk Domestik Bruto (PDB), atau jauh dari yang ditetapkan sebelumnya atau sebesar 5,7% PDB.
Ini karena realisasi sementara pendapatan negara hingga akhir 2021 tercatat Rp 2.003,1 triliun atau melampaui target yang dipatok sebesar Rp 1.743,6 triliun. Ini pun tumbuh 21,6% dari capaian pada tahun 2020.
Pendapatan negara ini ditopang oleh penerimaan perpajakan yang tembus Rp 1.546,51 triliun atau 107,06% dari target, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tercatat Rp 451,98 triliun atau juga 151,57% dari target.
Melihat capaian ini, Abdurohman optimistis APBN di tahun 2022 masih akan berdaya, didukung dengan potensi penerimaan negara dari hasil reformasi perpajakan, masih relatif tingginya harga komoditas, serta menguatnya pemulihan ekonomi nasional.
Dengan potensi ini, defisit APBN pada tahun 2022 bahkan bisa di bawah target awalnya yang sebesar 4,85% PDB. Serta didukung dengan reformasi perpajakan, prospek konsolidasi fiskal menuju defisit maksimal 3% PDB pada tahun 2023 tetap bisa tercapai.
“Dan tentu saja dengan tetap berlanjutnya akselerasi pemulihan ekonomi,” tandas Abdurohman.
Reporter: Bidara Pink | Editor: Tendi Mahadi